Antibiotik & Tantangan Resistensi #pharmarumpedia

Antibiotik merupakan obat yang digunakan untuk mengobati infeksi bakteri dan sekelompok obat yang terbagi menjadi beberapa golongan dengan menargetkan struktur atau proses bakteri tertentu. Antibiotik ditemukan pada tahun 1928 oleh Alexander Fleming dan pada tahun 1947, ditemukan kasus resistensi antibiotik pertama kali pada obat golongan penisilin. Penggunaan antibiotik baru dilakukan secara masif pada tahun 1950-an di dunia medis, tetapi penggunaan secara masif tersebut tidak menutupi kejadian resistensi yang mengalami peningkatan belakangan ini.

Peningkatan kejadian resistensi antibiotik atau antimicrobial resistance (AMR) menjadi salah satu ancaman masalah kesehatan terbesar di seluruh dunia, dengan dampak yang lebih besar pada negara berpenghasilan rendah dan menengah/low- and middle-income countries (LMIC). Penelitian terbaru secara global memperkirakan AMR menjadi penyebab langsung 1,27 juta kematian dan berperan dalam 4,95 juta kematian di tahun 2019.

Mekanisme resistensi antibiotik terjadi karena beberapa faktor yang berperan, seperti mutasi pada DNA bakteri, faktor lingkungan serta epidemiologis. Kejadian AMR memunculkan timbulanya multidrug resistant organisms (MDRO). MDRO adalah mikroorganisme yang resisten terhadap dua atau lebih golongan antibiotik. Bakteri yang termasuk MDRO adalah: Extended-spectrum beta-lactamase producing Enterobacteriaceae (ESBLs), methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA), Pseudomonas aeruginosa, Acinetobacter baumannii, Vancomycin-resistant Enterococci (VRE), dan Carbapenem- resistant Enterobacteriaceae (CRE). Selain penyebab resistensi dari mekanisme tersebut.

Di Indonesia sendiri, penggunaan antibiotik juga dinilai belum sepenuhnya tepat sasaran. Antibiotik diresepkan untuk menghambat atau membunuh pertumbuhan bakteri dan jamur. Sayangnya, dengan meningkatnya penggunaan dan penyalahgunaan antibiotik, beberapa strain bakteri telah berevolusi untuk mengembangkan resistensi antibiotik terhadap obat-obatan yang awalnya digunakan untuk mengobati mereka. Jika orang terus menyalahgunakan antibiotik, dan dokter terus meresepkannya tanpa perlu, strain bakteri yang sepenuhnya resisten dapat mengembalikan kedokteran modern ke masa tanpa antibiotik.

Resistensi antibiotik adalah kemampuan bakteri untuk bertahan dari efek antibiotik, yang dapat terjadi melalui mutasi genetik atau transfer gen horizontal antar bakteri. Penggunaan antibiotik yang berlebihan dan tidak sesuai resep dokter berkontribusi besar terhadap meningkatnya resistensi ini. Masalah ini semakin mendesak karena banyak spesies bakteri kini kebal terhadap berbagai jenis antibiotik, sehingga pengobatan infeksi yang sebelumnya dapat diatasi menjadi sulit. Oleh karena itu, kesadaran dan pengelolaan penggunaan antibiotik yang bijak sangat penting untuk mencegah perkembangan lebih lanjut dari resistensi ini. Pada tahun 2023 WHO melaporkan sekitar 700.000 kematian per tahun akibat resistensi antibiotik, dengan proyeksi mencapai 10 juta kematian pada tahun 2050 jika tidak ada tindakan yang diambil.

Ada berbagai solusi yang dapat digunakan, namun tentunya ada dilema etis terkait solusi yang layak. Misalnya, apakah lebih baik mengobati pasien sekarang dengan antibiotik segera dan dalam dosis tinggi, sambil mempertaruhkan perkembangan resistensi terhadap pengobatan tersebut? Atau apakah lebih baik merawat pasien saat ini dengan alternatif antibiotik dan dalam dosis yang lebih rendah agar generasi pasien di masa depan tidak harus menghadapi frekuensi bakteri resisten yang lebih tinggi? Haruskah kita mempermudah pengembangan obat untuk mendorong produksi antibiotik baru?

Tujuan dari artikel ini adalah untuk menambah wawasan kepada pembaca mengenai cara penggunaan antibiotik, agar secara sadar dapat lebih memahami alasan-alasan dibalik penggunaan antibiotik dan solusi untuk mengurangi resistensi antibiotik dengan lebih bijak dan benar sesuai fakta-fakta yang sudah dipaparkan dan telah terjadi sebelumnya.

Penulis : apt. Jaka S Lepangkari, S. Farm., M. Farm.